Rabu, 29 Mei 2013

membudayakan matematika di sekolah

Membudayakan Matematika di Sekolah

Solichan Abdullah  (Widyaiswara Utama  pada LPMP Jawa Timur)
Pendahuluan  
Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak masyarakat khususnya peserta didik di sekolah memberikan kesannya terhadap matematika sebagai sesuatu yang dianggap seperti ‘monster’ yang menakutkan. Salah satu penyebab diantaranya adalah karena sebagian (besar?) peserta didik memperoleh nilai ulangan atau ujian matematika di sekolahnya kurang memuaskan yang merupakan indikator bahwa matematika sulit dipelajari oleh peserta didik.
Contoh kasus seperti di atas merupakan salah bukti bahwa pendidikan matematika khususnya di tanah air masih memprihatinkan jika ditinjau sisi nilai ulangan/ujian peserta didik. Lepas dari valid, reliable, objektif atau tidaknya soal ujian sesaat tersebut, kita perlu bertanya : “Apakah matematika masih belum memasyarakat? Tentu pertanyaan ini tidak dapat langsung dijawab ‘ya’, sebab kenyataannya masyarakat baik langsung atau tidak langsung sudah menggunakan matematika dalam aktivitas kehidupannya sehari-hari. Disadari atau tidak sejak bangun tidur sampai tidur lagi kita banyak menggunakan matematika. Berbicara masalah pemasyarakatan tidak lepas kaitannya dengan masalah pembudayaan dan hal ini berhubungan dengan masalah pendidikan.
Banyak orang sangat suka dengan tantangan, itu yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Jika kita merasa bahwa matematika itu pelajaran yang sulit, ”ribet”, dan serius, maka kita menjadikan anggapan yang seperti itu sebagai suatu tantangan. Kita bisa menjadikannya suatu motivasi dengan tertantang untuk mengalahkannya.

Pengertian Matematika
   Banyak definisi tentang matematika, dan masing-masing belum sempurna atau kebal terhadap kritik. Menurut Everyman’s Encyclopaedia dalam Elea Tinggih (1972 : 11): Mathematics is a science of space and number, and is the basis of all other sciences ( Matematika adalah ilmu tentang ruang dan bilangan, dan merupakan dasar dari semua ilmu lainnya). Secara harfiah matematika  berasal dari kata ‘mathema’ (pengetahuan) dan ‘manthanein’ (belajar, dengan maksud untuk memahami). Jadi matematika adalah ilmu tentang cara memahami pengetahuan. Memahami bermaksud mengenalnya secara cermat, jelas dan objektif. Semua keunsuran dalam matematika adalah abstrak dan ideal, artinya ada dalam alam pikiran, sehingga kegiatan pada matematika menyangkut olah pikiran dan olah kejiwaan sedangkan pendayagunaan dan penerapan matematika terdapat pada alam fisik. Ungkapan matematika adalah simbolik dan dimanfaatkan untuk memahami pengetahuan secara umum, misalnya berhitung, geometri, probabilitas, statistika, kalkulus, dan  sebagainya. Matematika yang dipromosikan itu sendiri secara implisit sebetulnya mengandung nilai-nilai. Abstrak adalah suatu nilai terhadap konkrit, formal suatu nilai terhadap informal, objektif terhadap subjektif, pembenaran terhadap penemuan, rasionalitas terhadap intuisi, penalaran terhadap emosi, hal-hal umum terhadap hal-hal khusus, teori terhadap praktik, kerja dengan fikiran terhadap kerja dengan tangan, dan seterusnya.
Pengamatan yang kita lakukan sehari-hari, baik pengamatan indera maupun pengamatan batin didasarkan atas kegiatan melakukan pembandingan.  Dengan demikian dalam tanggapan kita timbul berbagai macam keadaan dan ketiadaan. Dengan mengenal bilangan dan ruang, artinya memiliki pengetahuan tentang bilangan dan ruang, kita dapat melakukan pemikiran dan pengungkapan terhadap tanggapan kita secara cermat, jelas dan objektif lewat kegiatan melakukan perhitungan dan pengukuran. Berpikir dan merasa, tidak lain adalah melakukan perhitungan dan pengukuran walalupun tidak selalu kuantitatif, tetapi kualitatif dan seringkali intuitif, tetapi jelas akan lebih eksak bila mampu mengkuantifikasikan.
Dapat kita bayangkan betapa sulitnya dalam menghadapi kehidupan ini bila tidak ada pengertian atau tidak pernah dikenal apa yang disebut bilangan dan ruang. Kenyataan dalam hidup sehari-hari kita mengakrabkan diri dan memang mutlak memerlukan bilangan dan ruang. Kerjasama antara matematika dan teknologi telah menghasilkan komputer yang sekarang telah membudaya/memasyarakat. Komputerisasi merupakan perwujudan dari matematisasi kehidupan. Tingkat kecermatannya, kejelasannya, keobjektifannya dan kecepatan prosesnya dari pengolahan dengan komputer jauh mengatasi kemampuan manusia. Namun kita harus ingat bahwa komputer adalah hanya peralatan yang dibuat oleh manusia; walaupun mempunyai kemampuan yang luar biasa, tetapi tetap dungu dan bergantung kepada pengendalian manusia, kegiatannya sesuai dengan program yang disiapkan oleh manusia. Manusia adalah merupakan komputer alamiah, komputer yang amat sempurna karena merupakan ciptaan Tuhan YME. Adanya komputer tidak menurunkan martabat manusia, karena kegiatan komputer hanya berlangsung atas dasar perintah manusia dengan terlebih dahulu disajikan programnya. Dengan pelimpahan tugas kepada komputer dan mekanisme teknologi lainnya, kita telah memperalat mereka sehingga sisa tugas yang masih perlu dilakukan oleh manusia sebagian besar menyangkut tugas kemanusiaan.
Matematisasi tidak terbatas pada komputerisasi belaka. Masih banyak sekali konsep-konsep matematika murni yang bersifat abstrak dan ideal, penerapannya belum terwujud. Jika diingat, terapan teori relativitas dari Einstein yang berlandaskan matematika baru terwujud puluhan tahun kemudian. Memang, acuan yang mendorong para matematikawan murni untuk melakukan kegiatan bukan nilai daya gunanya, tetapi inspirasi dan aspirasinya untuk kepuasan batin. Kiranya serupa dengan kegiatan para pelukis abstrak. Anehnya lebih banyak yang menyatakan kekagumannya terhadap hasil karya para seniman tersebut karena ketidakmengertiannya daripada mereka yang benar-benar dapat menghayati kecemerlangan orijinalitasnya. Memang dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak kepura-puraan yang tertutup daripada kejujuran terbuka, karena kejujuran yang terbuka atau keterbukaan yang jujur memerlukan keberanian. Matematika yang telah dapat diterapkan merupakan bahasa ilmu yang mampu menguraikan dan menyimpulkan untuk penyelesaian permasalahannya, merupakan jaringan/ penghubung antar ilmu yang mampu menyatupadukannya secara interdisipliner. Jadi jelas, matematika dapat berfungsi sebagai alat untuk mengolah dan memberikan keterangan secara lugas, cermat, jelas dan objektif.
Hendra Gunawan (2002) menyatakan bahwa matematika tidak hanya sekedar sebagai alat, melainkan lebih dari itu. Dibalik alat-alat tersebut terdapat pesan bagaimana memilih alat yang tepat, kapan kita dapat dan memang harus menggunakan alat itu, serta bagaimana menggunakannya dengan benar, selalu berusaha mencari cara paling efisien dan efektif, dan jika menemui jalan buntu jangan putus asa. Prinsip-prinsip hidup ini dapat dikembangkan melalui matematika. Disamping itu, jika kita telusuri pembelajaran matematika paling sedikit mempunyai tiga macam nilai, yaitu nilai praktis, nilai disiplin, dan nilai budaya (Solichan Abdullah, 2001).
Dalam mengerjakan soal-soal matematika seseorang sama dengan melakukan kegiatan senam otak, dan manfaat yang diharapkan adalah untuk meningkatkan berpikir secara logik, rasional, proporsional, kritis, objektif, cermat dan eksak. Beberapa contoh pola berpikir:
  • mencari faktor persekutuan terbesar (FPB) pada matematika atau interseksi pada kumpulan himpunan.
Hal ini menyangkut menemukan kesamaan umum dengan melepaskan kelainan-kelainan khusus menuju mencari hakiki dari berbagai macam keadaan, menemukan genusnya.
  • mencari kelipatan persekutuan terkecil (KPK) pada matematika atau unifikasi pada himpunan.
Hal ini mengumpulkan semua kelainan/kekhususan menuju mengumpulkan keanekaragaman yang mungkin terjadi, menemukan berbagai variabilitas dan konstanta dalam berbagai masalah, menemukan spesiesnya.
Dari uraian di atas, kiranya telah ada kesan yang cukup tentang tafsiran mengenai budaya, matematika dan pembudayaan /pemasyarakatan matematika. Berpangkal pada pengertian tersebut di atas, yang jelas kegunaan matematika telah diakui dan telah dirasakan yang merupakan usaha mematematikakan masyarakat, walaupun apresiasi masyarakat terhadap matematika masih kurang. Di samping itu melalui matematika kita dapat mengembangkan kecakapan hidup (life skills), melatih penalaran yang diperlukan dalam perjuangan hidup.
Jika matematika dianggap sebagai kebenaran mutlak dan kepastian, tetapi peran yang sangat penting dalam pencapaian individu. Tetapi peserta didik dapat dilihat sebagai makhluk yang berevolusi. Oleh karena itu matematika dipandang sebagai lebih manusiawi, antara lain, dapat dianggap sebagai bahasa, kreativitas manusia. Pendapat pribadi sangat dihargai dan ditekankan. Peserta didik memiliki hak individu untuk melindungi diri dan pengalaman mereka dan berkembang sesuai potensinya. Kemampuan untuk melakukan masalah matematika bersifat individual. Belajar teori yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap peserta didik berbeda satu sama lain dalam penguasaan matematika. Peserta didik dianggap memiliki kesiapan mental dan kemampuan bervariasi dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu setiap individu memerlukan kesempatan, perlakuan, dan fasilitas yang berbeda dalam belajar matematika. Akulturasi pembelajaran matematika memiliki implikasi untuk fungsi guru sebagai fasilitator sebaik-baiknya sehingga peserta didik dapat belajar matematika secara optimal.
Matematika dianggap tidak diajarkan oleh guru, tetapi untuk dipelajari oleh peserta didik. Peserta didik ditempatkan sebagai titik sentral pembelajaran matematika. Guru bertugas menciptakan suasana, dan fasilitas lainnya dan peran guru lebih sebagai manajer guru. Belajar dilakukan dalam suasana yang kondusif yaitu suasana kurang formal. Peserta didik bekerja pada kegiatan matematika yang berbeda dengan target yang berbeda. Guru memiliki tiga fungsi utama: sebagai fasilitator, sebagai sumber pengajaran dan aktivitas memantau peserta didik. Dengan demikian, guru dapat mengembangkan varian metode pembelajaran: ceramah, diskusi, tugas memberi, seminar, dan lain-lain.

Pembudayaan Matematika
Budaya adalah pikiran atau akal budi dan kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989: 130-131). Budaya adalah buah dari budi manusia dan kebudayaan adalah perwujudan dari budaya. Budi manusia pada pokoknya terdiri atas cipta, rasa dan karsa. Jelas hal tersebut terkait dengan pikiran, perasaan dan kehendak, jadi hasilnya menyangkut: logika, etika, estetika dan dinamika. Tiga kekuatan jiwa tersebut dapat mandiri maupun bergabung manunggal dengan berbagai macam komposisi dan variasi, hingga kebudayaan mencerminkan unsur-unsur ketajaman pikiran, kepekaan perasaan dan keteguhan kehendak.
Slamet Dajono seorang pakar Matematika dalam suatu seminar tahun 1977 menyatakan bahwa secara  mandiri atau manunggal kebudayaan melibatkan atau mencakup bidang-bidang keilmuan, kesenian (keindahan dan keluhuran), keyakinan (keberanian, kepercayaan, keimanan). Pengembangannya menyangkut keadilan, kebajikan, kesusilaan, kecintaan, ketawakalan. Dengan demikian meliputi kehidupan kemanusiaan secara umum, baik kehidupan lahir maupun kehidupan batin.
Membudayakan sesuatu adalah meleburkannya hingga terjiwai, mengintegrasikan dalam budi manusia, hingga mewarnai segala cipta, rasa dan karsanya. Jadi membudayakan matematika dalam masyarakat artinya memanunggalkan matematika dalam budi masyarakat sehingga segala cipta, rasa dan karsa bersifat matematika. Sering kita mendengar pembicaraan di masyarakat bahwa argumentasi yang dikemukakan si Fulan tidak rasional. Berbicara masalah rasionalitas berpikir tentu berkaitan dengan masalah logika, berarti si Fulan belum menggunakan logika berpikir yang antara lain dikembangkan dalam matematika. Tidak rasional berarti alasan yang mendukung apa yang dikemukakan si Fulan tidak sahih(valid). Berpikir logis, rasional, praktis, efektif, efisien adalah salah satu dasar yang diperlukan bagi keharmonisan, keselarasan, rasa saling menghormati dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk dapat berbudaya, pemahaman matematika yang diperlukan adalah tentang makna matematika dalam berbagai dimensi. Makna matematika dimensi dapat dilihat dari dimensi sisi matematika untuk benda dan benda-benda konkret untuk dimensi objek matematika abstrak.

Membudayakan Matematika Melalui Pembelajaran dan Komunikasi Matematika
Pembudayaan matematika di sekolah dapat diawali dengan mendefinisikan hakekat matematika sekolah. Ebbutt, S dan Straker, A., (1995) mendefinisikan matematika sekolah sebagai: (1)kegiatan matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan, (2) kegiatan matematika memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi dan penemuan, (3) kegiatan dan hasil-hasil matematika perlu dikomunikasikan, (4) kegiatan problem solving adalah bagian dari kegiatan matematika, (5) algoritma merupakan prosedur untuk memperoleh jawaban-jawaban persoalan matematika, dan (6) interaksi sosial diperlukan dalam kegiatan matematika. Pembudayaan matematika di sekolah dapat menekankan kepada hubungan antar manusia dalam dimensinya dan menghargai adanya perbedaan individu baik dalam kemampuan maupun pangalamannya. Jika matematika dipandang sebagai kebenaran absolut dan pasti, tetapi peran individu sangat menonjol dalam pencapaiannya. Tetapi peserta didik dapat dipandang sebagai makhluk yang berkembang (progress).
Oleh karenanya matematika dipandang secara lebih manusiawi antara lain dapat dianggap sebagai bahasa, kreativitas manusia. Pendapat pribadi sangat dihargai dan ditekankan. Peserta didik mempunyai hak individu untuk melindungi dan mengembangkan diri dan pengalamannya sesuai dengan potensinya. Kemampuan mengerjakan soal-soal matematika adalah bersifat individu. Teori belajar berdasar pada anggapan bahwa setiap peserta didik berbeda antara satu dengan lainnya dalam penguasaan matematika. Peserta didik dianggap mempunyai kesiapan mental dan kemampuan yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika. Oleh karena itu setiap individu memerlukan kesempatan, perlakuan, dan fasilitas yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika.
Unsur dasar pembudayaan matematika adalah kegiatan mengkomunikasikan matematika pada berbagai dimensinya. Komunikasi dapat didefinisikan sebagai berbagai bentuk vitalitas dari potensi-p otensi relational antara subyek-subyek, subyek-obyek, obyek subyek atau obyek-obyek. Komunikasi matematika meliputi materi komunikasi, komunikasi formal, komunikasi normatif dan komunikasi spiritual. Sehubungan dengan pembelajaran matematika maka kita lebih cocok untuk mendefinisikan matematika sebagai matematika sekolah, tetapi untuk tingkat perguruan tinggi kita mendefinisikan matematika formal atau aksiomatik. Akulturasi matematika dapat berkontribusi untuk bangsa melalui inovasi pembelajaran matematika secara terus menerus. Dalam kaitannya untuk mendapatkan superioritas bangsa maka kita dapat berpikir tentang matematika, mengajar matematika dan pendidikan matematika di berbagai tingkat tingkat hierarki atau intrinsik, ekstrinsik atau sistemik
Pembudayaan pembelajaran matematika berimplikasi kepada fungsi guru sebagai fasilitator sebaik-baiknya agar peserta didik dapat mempelajari matematika secara optimal. Matematikadipandang bukan untuk diajarkan oleh guru tetapi untuk dipelajari oleh peserta didik. Peserta didik ditempatkan sebagai titik pusat pembelajaran matematika. Guru bertugas menciptakan suasana, menyediakan fasilitas dan lainnya dan peranan guru lebih bersifat sebagai manajer dari pada pengajar. Pembelajaran dilakukan dalam suasana yang kondusif yaitu suasana yang tidak begitu formal. Peserta didik mengerjakan kegiatan matematika yang berbeda-beda dengan target yang berbeda-beda. Guru mempunyai tiga fungsi utama yaitu : sebagai fasilitator, sebagai sumber ajar dan memonitor kegiatan peserta didik. Dengan demikian guru dapat mengembangkan metode pembelajaran secara bervarisasi: ceramah, diskusi, pemberian tugas, seminar, dsb. Sumber belajar atau referensi merupakan titik sentral dalam pembelajaran matematika. Variasi sumber belajar atau referensi sangat diperlukan termasuk buku-buku, jurnal dan akses ke internet. Penilaian dilakukan dengan pendekatan asesmen, portofolio atau autenthic assessment.

Penutup

Dalam masa pembangunan saat ini hampir setiap perencanaan, pengendalian, penilaian dan pengembangannya mendasarkan metode kuantitatif dan hal ini jelas bila matematika banyak dilibatkan. Tampaknya pendidikan matematika baik yang menyangkut pendidikan formal maupun pendidikan non-formal ataupun bersifat informal perlu mendapat perhatian khusus. Masyarakat, para orangtua, dan tentunya guru berpendapat bahwa matematika berguna. Bukan hanya karena dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan bermacam-macam pekerjaan, namun alasan yang paling utama adalah karena matematika melatih peserta didik berpikir dan berargumentasi. Pendidikan matematika dalam arti umum sebenarnya secara tidak langsung telah terlibat dalam pembudayaan/ pemasyarakatan matematika.
Keberhasilan dalam pendidikan matematika merupakan keberhasilan dalam pemasyarakatan matematika. Banyak tantangan yang dihadapi oleh guru matematika dalam pemasyarakatan matematika di kelas, dan untuk mengatasinya guru merubah paradigma dalam membantu peserta didik belajar matematika. Yang menjadi pekerjaan rumah bagi guru diantaranya adalah bagaimana mengubah belajar matematika menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan bagi peserta didik  maupun bagi guru sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar